WELCOME TO THE BLOG DHINUDHIN

Rabu, 24 Oktober 2012

TUJUAN PENDIDIKAN JASMANI


Apakah sebenarnya tujuan pendidikan jasmani? Menjawab pertanyaan demikian, banyak guru yang masih berbeda pendapat. Ada yang menjawab bahwa tujuannya adalah untuk meningkatkan keterampilan siswa dalam berolahraga. Ada pula yang berpendapat, tujuannya adalah meningkatkan taraf kesehatan siswa yang baik, dan tidak bisa disangkal pula pasti ada yang mengatakan, bahwa tujuan pendidikan jasmani adalah untuk meningkatkan kebugaran jasmani. Kesemua jawaban di atas benar belaka. Hanya saja barangkali bisa dikatakan kurang lengkap, sebab yang paling penting dari kesemuanya itu tujuannya bersifat menyeluruh.
Adisasmita (1997) mengungkapkan secara sederhana bahwa pendidikan jasmani memberikan kesempatan kepada siswa untuk:
1.             Mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan aktifitas jasmani, perkembangan estetika, dan perkembangan sosial.
2.      Mengembangkan kepercayaan diri dan kemampuan untuk menguasai keterampilan gerak dasar yang akan mendorong partisipasinya dalam aneka aktifitas jasmani.
3.      Memperoleh dan mempertahankan derajat kebugaran jasmani yang optimal untuk melaksanakan tugas sehari-hari secara efisien dan terkendali.
4.      Mengembangkan nilai-nilai pribadi melalui partisipasi dalam aktifitas jasmani baik secara kelompok maupun perorangan.
5.      Berpartisipasi dalam aktifitas jasmani yang dapat mengembangkan keterampilan sosial yang memungkinkan siswa berfungsi secara efektif dalam hubungan antar orang.
6.      Menikmati kesenangan dan keriangan melalui aktifitas jasmani, termasuk permainan olahraga.

Diringkaskan dalam terminologi yang populer, maka tujuan pembelajaran pendidikan jasmani itu harus mencakup tujuan dalam domain psikomotorik, domain kognitif, dan tak kalah pentingnya dalam domain afektif.
Pengembangan domain psikomotorik secara umum dapat diarahkan pada dua tujuan utama, pertama mencapai perkembangan aspek kebugaran jasmani, dan kedua, mencapai perkembangan aspek perseptual motorik. Ini menegaskan bahwa pembelajaran pendidikan jasmani harus melibatkan aktifitas fisik yang mampu merangsang kemampuan kebugaran jasmani serta sekaligus bersifat pembentukan penguasaan gerak keterampilan itu sendiri.
Kebugaran jasmani merupakan aspek penting dari domain psikomotorik, yang bertumpu pada perkembangan kemampuan biologis organ tubuh. Konsentrasinya lebih banyak pada persoalan peningkatan efisiensi fungsi faal tubuh dengan segala aspeknya sebagai sebuah sistem (misalnya sistem peredaran darah, sistem pernapasan, sistem metabolisme, dan lain-lain).
Dalam pengertian yang lebih resmi, sering dibedakan konsep kebugaran jasmani ini dengan konsep kebugaran motorik. Keduanya dibedakan dalam hal: kebugaran jasmani menunjuk pada aspek kualitas tubuh dan organ-organnya, seperti kekuatan (otot), daya tahan (jantung-paru), kelentukan (otot dan persendian), sedangkan kebugaran motorik menekankan aspek penampilan yang melibatkan kualitas gerak sendiri seperti kecepatan, kelincahan, koordinasi, power, keseimbangan, dan lain-lain. Namun dalam naskah ini, penulis akan menggunakan konsep kebugaran jasmani tersebut untuk menunjuk pada keseluruhan aspek di atas Lutan (2001).
Pengembangan keterampilan gerak merujuk pada proses penguasaan suatu keterampilan atau tugas gerak yang melibatkan proses mempersepsi rangsangan dari luar, kemudian rangsangan itu diolah dan diprogramkan sampai terjadinya respons berupa tindakan yang sesuai dengan rangsangan itu.
Penekanan proses pembelajarannya lebih banyak ditujukan pada proses perangsangan yang bervariasi, sehingga setiap kali anak selalu mengerahkan kemampuannya dalam mengolah informasi, ketika akan menghasilkan gerak. Dengan cara itu, kepekaan sistem saraf anak semakin dikembangkan.
Domain kognitif mencakup pengetahuan tentang fakta, konsep, dan lebih penting lagi adalah penalaran dan kemampuan memecahkan masalah. Aspek kognitif dalam pendidikan jasmani, tidak saja menyangkut penguasaan pengetahuan faktual semata-mata, tetapi meliputi pula pemahaman terhadap gejala gerak dan prinsipnya, termasuk yang berkaitan dengan landasan ilmiah pendidikan jasmani dan olahraga serta manfaat pengisian waktu luang.
Domain afektif mencakup sifat-sifat psikologis yang menjadi unsur kepribadian yang kukuh. Tidak hanya tentang sikap sebagai kesiapan berbuat yang perlu dikembangkan, tetapi yang lebih penting adalah konsep diri dan komponen kepribadian lainnya, seperti intelegensi, emosional dan watak. Konsep diri menyangkut persepsi diri atau penilaian seseorang tentang kelebihannya. Konsep diri merupakan fondasi kepribadian anak dan sangat diyakini ada kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangan mereka setelah dewasa kelak.
Intelegensi emosional mencakup beberapa sifat penting, yakni pengendalian diri, kemampuan memotivasi diri, ketekunan, dan kemampuan untuk berempati. Pengendalian diri merupakan kualitas pribadi yang mampu menyelaraskan pertimbangan akal dan emosi yang menjadi sifat penting dalam kehidupan sosial dan pencapaiannya untuk sukses hidup di masyarakat. Demikian juga dengan ketekunan; tidak ada pekerjaan yang dapat dicapai dengan baik tanpa ada ketekunan. Ini juga berlaku sama dengan kemampuan memotivasi diri, kemandirian untuk tidak selalu diawasi dalam menyelesaikan tugas apapun.

Selasa, 23 Oktober 2012

TINJAUAN PENDIDIKAN JASMANI


Pengertian pendidikan jasmani banyak sekali variasi yang dikemukakan oleh pakar antara satu dengan lainnya. Setiap penulis cendrung memberikan definisi pendidikan jasmani menurut pandangannya masing–masing. Pendapat Cholik (1997) mengatakan bahwa: “Proses pendidikan jasmani yang melibatkan interaksi antara peserta (anak didik) dengan lingkungannya yang dikelola melalui aktifitas jasmani secara sistimatik menuju pembentukan manusia seutuhnya”.
Lutan (2004) mengatakan bahwa: “Pendidikan jasmani diartikan suatu pendidikan yang mempergunakan fisik atau tubuh sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan, atau suatu pendidikan melalui aktifitas-aktifitas jasmani”. Mahendra (2007) mengungkapkan bahwa: “Pendidikan jasmani adalah pendidikan yang mengaktualisasikan potensi-potensi aktifitas manusia berupa sikap, tindakan dan karya yang diberi bentuk, isi dan arah untuk menuju kebulatan kepribadian manusia dengan cita-cita kemanusiaan”.
Definisi di atas maka dapat dirumuskan bahwa pendidikan jasmani adalah suatu bagian dari pendidikan keseluruhan yang mengutamakan aktifitas jasmani dan pembinaan hidup sehat untuk pertumbuhan dan pengembangan jasmani, mental, sosial, dan emosional yang serasi selaras dan seimbang.
Pada usia sekolah anak diharapkan bergerak dengan aktifitas fisik yang teratur. Rangsangan sensoris pada usia dini penting untuk mengembangkan kemampuan, kemampuan menganalisis dan bahkan menjadi faktor perantara yang memungkinkan tercapainya proses belajar yang cepat pada tahap dewasa.
Kata fisik atau jasmani (physical) menunjukkan pada tubuh atau badan (body). Kata fisik seringkali digunakan sebagai referensi dalam berbagai karakteristik jasmaniah, seperti kekuatan fisik (physical strenght), perkembangan fisik (physical development), kecakapan fisik (physical prowess), kesehatan fisik (physical health). dan penampilan fisik (physical appearance), (Ateng, 1993).
  Kata fisik dibedakan dengan jiwa atau pikiran (mind). Oleh karena itu, jika kata pendidikan (education) ditambahkan dalam kata fisik, maka membentuk frase atau susunan kata pendidikan fisik atau pendidikan jasmani (physical education), yakni menunjukkan proses pendidikan tentang aktifitas-aktifitas yang mengembangkan dan memelihara tubuh manusia. Cholik (1991) memberikan definisi tentang pendidikan jasmani sebagai berikut:
Pendidikan jasmani adalah suatu proses pendidikan seseorang sebagai perorangan atau anggota masyarakat yang dilakukan secara sadar dan sistematik melalui berbagai kegiatan jasmani untuk memperoleh pertumbuhan jasmani, kesehatan dan kesegaran jasmani, kemampuan dan keterampilan, kecerdasan dan perkembangan watak serta kepribadian yang harmonis dalam rangka pembentukan manusia Indonesia berkualitas berdasarkan Pancasila.

Supandi (1992) mengemukakan bahwa pendidikan jasmani didefinisikan sebagai fase dari seluruh proses pendidikan yang berhubungan dengan aktifitas dan respons otot yang giat dan berkaitan dengan perubahan yang dihasilkan individu dari respons tersebut.
Pendidikan jasmani adalah fase dari program pendidikan keseluruhan yang memberikan kontribusi, terutama melalui pengalaman gerak, untuk pertumbuhan dan perkembangan secara utuh untuk tiap anak. Pendidikan jasmani didefinisikan sebagai pendidikan dan melalui gerak dan harus dilaksanakan dengan cara-cara yang tepat agar memiliki makna bagi anak. Pendidikan jasmani merupakan program pembelajaran yang memberikan perhatian yang proporsional dan memadai pada domain-domain pembelajaran, yaitu psikomotor, kognitif, dan afektif.
Ateng (1993) mengemukakan; pendidikan jasmani merupakan bagian integral dari pendidikan secara keseluruhan melalui berbagai kegiatan jasmani yang bertujuan mengembangkan secara organik, neuromuskuler, intelektual dan emosional.
Pendidikan jasmani merupakan suatu proses pendidikan melalui aktifitas jasmani yang didesain untuk meningkatkan kebugaran jasmani, mengembangkan keterampilan motorik, pengetahuan dan perilaku hidup sehat dan aktif, sikap sportif, dan kecerdasan emosi. Lingkungan belajar diatur secara seksama untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan seluruh ranah, jasmani, psikomotorik, kognitif, dan afektif setiap siswa.

HAKIKAT PENDIDIKAN JASMANI


Pendidikan jasmani pada hakikatnya adalah proses pendidikan yang memanfaatkan aktifitas fisik untuk menghasilkan perubahan holistik dalam kualitas individu, baik dalam hal fisik, mental, serta emosional (Depdiknas, 2003). Pendidikan jasmani memperlakukan anak sebagai sebuah kesatuan utuh, mahluk total, daripada hanya menganggapnya sebagai seseorang yang terpisah kualitas fisik dan mentalnya.
Pada kenyataannya, pendidikan jasmani adalah suatu bidang kajian yang sungguh luas. Titik perhatiannya adalah peningkatan gerak manusia. Lebih khusus lagi, pendidikan jasmani berkaitan dengan hubungan antara gerak manusia dan wilayah pendidikan lainnya: hubungan dari perkembangan tubuh-fisik dengan pikiran dan jiwanya. Fokusnya pada pengaruh perkembangan fisik terhadap wilayah pertumbuhan dan perkembangan aspek lain dari manusia itulah yang menjadikannya unik. Tidak ada bidang tunggal lainnya seperti pendidikan jasmani yang berkepentingan dengan perkembangan total manusia (Adisasmita, 1998).
 Pendidikan jasmani diartikan dengan berbagai ungkapan dan kalimat. Namun esensinya sama, yang jika disimpulkan bermakna jelas, bahwa pendidikan jasmani memanfaatkan alat fisik untuk mengembangan keutuhan manusia. Dalam kaitan ini diartikan bahwa melalui fisik, aspek mental dan emosional pun turut terkembangkan, bahkan dengan penekanan yang cukup dalam. Berbeda dengan bidang lain, misalnya pendidikan moral, yang penekanannya benar-benar pada perkembangan moral, tetapi aspek fisik tidak turut terkembangkan, baik langsung maupun secara tidak langsung.
Hasil-hasil kependidikan dari pendidikan jasmani tidak hanya terbatas pada manfaat penyempurnaan fisik atau tubuh semata, definisi penjas tidak hanya menunjuk pada pengertian tradisional dari aktifitas fisik. Kita harus melihat istilah pendidikan jasmani pada bidang yang lebih luas dan lebih abstrak, sebagai satu proses pembentukan kualitas pikiran dan juga tubuh.
Sungguh, pendidikan jasmani ini karenanya harus menyebabkan perbaikan dalam ‘pikiran dan tubuh’ yang mempengaruhi seluruh aspek kehidupan harian seseorang. Pendekatan holistik tubuh-jiwa ini termasuk pula penekanan pada ketiga domain kependidikan: psikomotor, kognitif, dan afektif. Dengan meminjam ungkapan Robert Gensemer, pendidikan jasmani diistilahkan sebagai proses menciptakan “tubuh yang baik bagi tempat pikiran atau jiwa”. Artinya, dalam tubuh yang baik ‘diharapkan’ pula terdapat jiwa yang sehat, sejalan dengan pepatah Romawi Kuno: Men sana in corporesano (Lutan, 2004).

Selasa, 09 Oktober 2012

PERAN GURU DALAM PEMBELAJARAN PENJAS


Untuk dapat manjalankan proses pembelajaran Pendidikan Jasmani sebagaimana diuraikan di atas secara lebih baik, maka seorang guru harus mampu memerankan fungsi mengajar pada saat menjalankan pembelajarannya. Fungsi mengajar adalah fungsi guru dalam proses belajar mengajar. Penggunaan istilah ini ditujukan agar guru terfokus pada tujuan perilaku yang ditampilkannya pada saat mengajar daripada hanya sekedar terfokus pada perilaku mengajarnya itu sendiri. Siedentop (1991) mengemukakan tiga fungsi utama guru pada saat melakukan pembelajaran sebagai berikut, “three major functions occupy most of the attention of physical educators as they teach: managing students, directing and instructing students, and monitoring/supervising students”.
Managing students merujuk para perilaku verbal maupun nonverbal yang ditampilkan guru untuk tujuan mengorganisir, merubah aktivitas belajar, mengarahkan formasi atau peralatan, memelihara rutinitas baik yang bersifat akademis maupun non akademis termasuk pengelolaan waktu transisi. Directing and instructing students meliputi demonstrasi, eksplanasi, feedback kelompok, dan kegiatan penutup. Monitoring merujuk pada perilaku observasi guru terhadap murid secara pasif, sedangkan supervising merujuk pada perilaku guru yang ditujukan untuk memelihara murid tetap aktif belajar seperti mengarahkan, mengingatkan, dan memberikan feedback perilaku sosial (behavioral interactions) maupun penampilan belajar murid (skill interactions).
Sementara itu, Rink (1993) menjelaskan fungsi guru dalam proses belajar mengajar secara lebih rinci lagi ke dalam tujuh kegiatan sebagai berikut, “identifying outcomes, planning, presenting tasks, organizing and managing the learning environment, monitoring the learning environment, developing the content, and evaluating”.
Walaupun kedua pendapat ahli tersebut berbeda secara kuantitas, namun keduanya sama-sama merujuk pada esensi dari proses pembelajaran Pendidikan Jasmani. Pendapat pertama lebih menekankan pada fungsi pokok proses pembelajaran, yaitu pada saat menjalankan siklus Movement Task-Student Response to Task hingga fungsi lainnya seperti persiapan mengajar tidak termasuk di dalamnya. Sedangkan pendapat yang kedua lebih bersifat menyeluruh mulai dari kegiatan persiapan (identifikasi hasil belajar dan perencanaan) hingga evaluasi terhadap proses pembelajaran. Perbedaan ini masuk akal mengingat siklus Movement Task-Student Response to Task merupakan bagian kritis dari proses pembelajaran sehingga fungsi mengajar termasuk keterampilan mengajar (teaching skills) yang pokok seringkali dikaitkan dengan peristiwa siklus ini.
Untuk dapat meraih proses pembelajaran yang lebih efektif, para guru dapat memilih dan menggunakan berbagai teknik dan keterampilan mengajar secara efektif. Keputusan mengenai teknik dan keterampilan mengajar bagaimana yang akan dipilih untuk menampilkan fungsi mengajar bergantung pada apa yang diketahui (what they know), apa yang diyakini (what they believe), minat (interest), keterampilan (skills), dan kepribadian (personality) gurunya itu sendiri. Hal ini sejalan dengan konsep Rink (1993) mengenai fungsi mengajar yaitu agar guru terfokus pada “tujuan” perilaku yang ditampilkannya pada saat mengajar daripada hanya sekedar terpokus pada “perilaku” mengajarnya itu sendiri.
Walaupun para guru memiliki kebebasan untuk memilih dan menggunakan berbagai teknik dan keterampilan mengajar, kriteria dan prinsip efektivitas pembelajaran yang sifatnya umum masih tetap bisa dibuat, misalnya: penyampaian tugas gerak yang baik membuahkan murid memahami cara melakukannya demikian juga tujuannya. Hal ini perlu diketahui oleh setiap guru sebagai alat untuk mengevaluasi efektivitas proses pembelajaran yang dilakukannya. Demikian juga berbagai teknik dan keterampilan mengajar perlu diketahui dan dimiliki para guru agar dapat diterapkan dan disesuaikan dengan konteks tempat mereka mengajar pendidikan jasmani.

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN PENJAS


Dalam suatu proses belajar mengajar seorang guru memegang peranan penting yaitu memberikan bantuan kepada murid untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Dengan bantuan guru diharapkan murid akan lebih mudah dalam memahami pelajaran yang diberikan. Menurut Sudjana (2000) mengajar adalah membimbing kegiatan murid belajar. Mengajar adalah mengatur dan mengorganisasikan lingkungan yang ada di sekitar murid sehingga dapat mendorong dan menumbuhkan murid melakukan kegiatan belajar. Menurut ahli lain mengajar di artikan sebagai suatu proses mengorganisasi atau menata sejumlah sumber potensi secara baik dan benar sehingga terjadi proses belajar anak. Impikasi dari pengertian tersebut bahwa peranan guru adalah mentranmisikan atau mendistribusikan pengetahuan kepada anak-anak semata akan tetapi sebagai direktur belajar dari sejumlah peserta didik.
Pada dasarnya kegiatan mengajar itu seperangkat dari kegiatan yang direncanakan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang akan diberikan kepada orang yang ingin mendapatkan ilmu dan keterampilan dari orang yang mengajar.
Gambaran umum tentang efektivitas mengajar ditandai oleh gurunya yang selalu aktif dan muridnya secara konsisten aktif belajar. Dalam lingkungan pembelajaran yang efektif, murid tidak bekerja sendiri melainkan selalu diawasi oleh gurunya dan mereka tidak banyak waktu yang terbuang begitu saja: murid jarang pasif. Jalannya aktivitas belajar begitu aktif, sibuk, dan menantang bagi murid akan tetapi tetap masih berada diantara tingkat perkembangan dan kemampuan muridnya. Yang pada akhirnya murid dapat menerima pesan atau instruksi dari gurunya dengan baik dan dapat melakukan latihan secara independen mempelajari sesuatu sesuai dengan tujuan pembelajarannya. Maksum (2001) beberapa gambaran ringkas dari efektivitas mengajar pendidikan jasmani sebagai berikut:
1.      Waktu, kesempatan belajar, dan materi yang diberikan. Guru selalu memfokuskan pembelajaran agar murid mempelajari bahan pelajaran yang menjadi tujuan belajarnya. Selanjutnya guru tersebut juga mengalokasikan waktu sebanyak-banyaknya untuk pencapaian tujuan pembelajaran dan memberi kesempatan yang sebanyak-banyaknya kepada murid untuk belajar secara aktif. Sementara penggunaan waktu untuk aspek-aspek lain selain untuk tujuan akademis selalu dibatasi.
2.      Harapan dan aturan. Guru mengkomunikasikan harapan kepada murid yang secara jelas dapat diobservasi. Harapan guru tersebut sangat realistik dan sangat mendukung kelancaran PBM yang akan dilakukannya. Selain itu, peranan guru dan murid dirumuskan dengan teliti, dikomunikasikan, dan dilatihkan kepada murid.
3.      Pengelolaan kelas dan keterlibatan murid (student engagement). Guru nampak seperti seorang manajer yang baik, guru menetapkan kegiatan rutin pada setiap awal tahun ajaran dan mengelolanya dalam pelaksanaan PBM dengan struktur organisasi yang ditata rapih, aturan ditetapkan dan diterapkan melalui strategi pemberian motivasi yang positif kepada murid, pengelolaan kelas ditujukan untuk mengoptimalkan keterlibatan murid dalam aktivitas-aktiviats akademis. Selama PBM berlangsung, perilaku guru yang bersifat negatif hampir tidak pernah muncul.
4.      Tugas belajar yang meaningfuldan tingkat keberhasilan yang tinggi. Aktivitas belajar yang diberikan sesuai dengan tingkat perkembangan murid dan cukup memberi tantangan kepada murid akan tetapi memberi kemungkinan terhadap tingkat keberhasilan belajar yang cukup tinggi, sehingga aktivitas belajar sangat berarti bagi murid.
5.      Kelancaran dan momentum. Guru menciptakan dan memelihara jalannya PBM serta berusaha menghindari kejadian-kejadian yang dapat mengganggu jalannya PBM. Aktivitas belajar disusun secara bertahap melalui tahapan dan pembagian yang runtun dan spesifik untuk menjamin keberhasilan.
6.      Mengajar secara aktif. Guru cenderung menyampaikan isi pelajaran kepada murid tanpa harus tergantung pada media pelajaran yang tercantum pada kurikulum. Demonstrasi dilakukan secara singkat dan diikuti oleh latihan terbimbing secara berulang-ulang serta diselingi pengecekan terhadap pemahaman murid mengenai latihan yang dilakukannya.
7.      Pengawasan yang aktif. Pada saat latihan terbimbing, tampak dengan jelas bahwa murid mengerti dan tidak banyak melakukan kesalahan, selanjutnya murid diberi kesempatan untuk berlatih secara independen. Latihan independen tersebut diawasi oleh guru secara aktif. Demikian juga guru memantau kemajuan belajar murid, memelihara agar murid tetap berlatih, dan memberi bantuan kepada murid apabila diperlukan.
8.      Tanggung jawab. Guru memberi tanggung jawab kepada murid mengenai tugas yang harus diselesaikannya. Macam-macam strategi, yang biasanya berorientasi positif, digunakan untuk mendapatkan rasa tanggung jawab murid
9.      Kejelasan, antusiasme, dan kehangatan. Guru selalu jelas dalam memberi uraian, guru selalu antusias terhadap isi pelajaran juga terhadap muridnya, guru selalu mengembangkan dan memelihara kehangatan lingkungan belajar sehingga murid mempunyai sikap yang positif.
Perlu kiranya digaris bawahi bahwa banyak guru pendidikan jasmani sekarang ini melakukan sesuatu yang termasuk dalam satu atau beberapa kategori tersebut di atas. Namun untuk mengetahui seberapa jauh lingkungan pembelajaran Pendidikan Jasmani sekarang ini mendekati kategori-kategori tersebut di atas, tentu saja perlu membandingkannya dengan cara-cara yang bisa dipertanggung jawabkan.
Berdasarkan uaraian mengenai proses pembelajaran tersebut, maka akan terdapat tiga variabel pembelajaran yang secara sinergi bekerja merefleksikan efektivitas pembelajaran. Ketiga variabel tersebut adalah variabel proses guru, variabel proses murid, dan variabel hasil belajar. Keterkaitan dari ketiga variabel tersebut digambarkan oleh Siedentop (dalam Maksum, 2001), sebagaimana tertera dalam Gambar  berikut ini.
Umpan balik hasil
Variabel Hasil Belajar
Variabel Proses Murid
(Perilaku Murid)
Variabel Proses Guru
(Penampilan Guru)
·  Pengelolaan rutinitas
·  Pengelolaan proses pembelajaran
·  Pengelolaan lingkungan dan materi pembelajaran
·  Waktu transisi
·  Perilaku menyimpang
·  Waktu aktif belajar
·  Kesempatan
·  Menerima informasi
Short. term
·  Skill
·  Fitness
·  Sikap
·  Pengetahuan
·  Raihan tujuan belajar
·  Raihan tingkat kriteria
Long term
·  Fitness
·  Partisipasi berkelanjutan
·  Kelayakan kemampuan gerak dan olahraga
Umpan balik proses


Gambar .   Keterkaitan antar variabel efektivitas pembelajaran penjas
Sumber:       Maksum (2001:17)

Gambar 1 di atas menunjukkan keterkaitan antara variabel proses pada guru dan murid yang pada akhirnya akan mempengaruhi variabel hasil belajar murid. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dari gambar tersebut yang pertama adalah garis feedback dan garis yang menghubungkan variabel proses guru dan proses murid yang dua arah.
Garis umpan balik yang pertama (umpan balik proses) maksudnya adalah guru menggunakan informasi variabel proses murid untuk merubah perilaku dan strategi mengajarnya. Sebagai contoh misalnya sebuah penilaian terhadap salah satu variabel proses murid menunjukkan bahwa keterlibatan murid dalam aktivitas belajar sangat kurang, maka selanjutnya informasi tersebut menyebabkan guru merubah gaya mengajarnya agar keterlibatan murid dalam belajar lebih meningkat.
Garis umpan balik yang kedua (umpan balik hasil) maksudnya adalah guru menggunakan informasi variabel hasil belajar untuk merubah strategi mengajar yang digunakan oleh gurunya. Misalnya salah satu hasil tes variabel hasil belajar menunjukkan bahwa kekuatan tubuh bagian atas murid sangat kurang, maka selanjutnya informasi tersebut menyebabkan guru merubah strategi mengajarnya dengan cara memfokuskan banyak waktu mengajarnya terhadap aktivitas yang dapat memberi sumbangan terhadap peningkatan kekuatan anggota tubuh bagian atas untuk mengatasi masalah rendahnya kekuatan tubuh bagian atas pada murid.
Garis dua arah yang menghubungkan variabel proses guru dan variabel proses murid maksudnya adalah untuk mengingatkan kembali bahwa kedua variabel tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Dalam beberapa kasus mungkin kita sulit mengatakannya: apakah dalam proses belajar mengajar, guru yang mempengaruhi murid atau murid yang mempengaruhi guru. Kecuali jika guru memahami apa yang disebut “dual-directional influences” yaitu proses murid dipengaruhi proses guru demikian juga proses guru dipengaruhi proses murid, maka kesalahpahaman mungkin terjadi di dalam menginterpretasikan kejadian dalam proses belajar mengajar.
Sebagai contoh manakala guru mendengar bahwa “antusias” akan mempengaruhi keberhasilan proses belajar mengajar, maka guru seringkali hanya mengharapkan murid agar belajar dengan penuh semangat (one-directional influence). Mungkin kita setuju bahwa semangat guru dalam mengajar akan mempengaruhi semangat muridnya dalam belajar, demikian juga sebaliknya, semangat murid dalam belajar akan mempengaruhi juga semangat guru dalam mengajar yang pada akhirnya akan mempengaruhi efektivitas proses belajar mengajar yang sangat penting bagi tercapainya keberhasilan variabel hasil belajar murid.
Gambar 1 tersebut di atas mempunyai asumsi bahwa guru dan murid berinteraksi satu sama lain untuk mempengaruhi apa yang dilakukan murid pada waktu proses belajar mengajar. Kalau kita analisa lebih jauh, kenyataannya adalah bahwa apa yang sebenarnya dilakukan murid di dalam proses belajar mengajar itulah yang akan mempengaruhi keberhasilan belajar murid baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Dengan kata lain, guru tidak mempengaruhi secara langsung fitness, skill, dan self-concepsts murid. Apa yang dapat dilakukan guru dalam kelas pada dasarnya adalah mempengaruhi apa yang dilakukan murid di dalam kelas dan karakteristik apa yang dilakukan guru itulah yang pada akhirnya akan mempengaruhi fitness, skill, dan self-concepts murid.